Autisme Menggugah dan Menggugat

Saturday, November 13, 2010


Autisme, dan dunia anak-anak special needs pada umumnya, di Indonesia sampai hari ini tampaknya masih harus merana. Belum ada perhatian istimewa dari negara berupa tersedianya payung hukum dan anggaran yang lebih memadai untuk menyediakan dokter ahli, lembaga penelitian, obat-obatan, alat terapi, klinik, terapis, dan pusat terapi yang murah (bahkan gratis), padahal itu merupakan kewajiban negara. Belum lagi sosialisasi dan gerakan penyadaran (kampanye media, penyuluhan, dll) masih sangat minim.
Masyarakat sendiri, karena minimnya sosialisasi, masih banyak yang memandang negatif keberadaan anak-anak autis, sehingga semakin menambah beban mental para orang tua mereka. Wajar bila banyak keluarga anak-anak istimewa ini, khususnya dari kalangan dhuafa, dibuat 'menjerit'. Jerit pilu yang disebabkan oleh berbagai kepedihan mengasuh anak-anak yang mengalami gangguan amat kompleks dan seperti tak berkesudahan. Ditambah lagi oleh bayangan ketakutan tentang masa depan mereka yang tampak suram serta oleh biaya terapi yang amat mencekik.
Biaya terapi yang harus dikeluarkan para orang tua autis di negeri ini memang terbilang sangat mahal. Apalagi terapi tersebut memakan waktu yang sangat lama dan tidak bisa dipastikan akhirnya. Sehingga keberadaan anak-anak istimewa itu membuat mereka harus habis-habisan dalam hal keuangan. Banyak orang tua yang patah arang karena biaya terapi bagi anaknya melebihi anggaran hidup yang pokok bagi seluruh anggota keluarganya. Tidak sedikit pula yang mengalami depresi sehingga menambah masalah baru seperti ketidakharmonisan dalam keluarga yang berujung pada perceraian. Bisa dibayangkan, betapa pedihnya jika keadaan itu harus dialami pula oleh keluarga yang kurang mampu.
Salah satu sebab utama mahalnya biaya terapi bagi anak-anak penderita autisme adalah karena tingginya juga bayaran untuk profesi di dunia autis, baik terapis, dokter, psikiater, maupun profesi terkait lainnya. Padahal masa depan anak-anak autis tergantung dari terapi yang optimal.
Pilu Adi…

Sambil menjerit-jerit, Adi terus menghantamkan kedua tangannya keras-keras ke wajahnya sendiri

. Meski wajah itu sudah sangat memar dan lebam menghitam, tak terlihat rasa sakit sedikit pun dari anak yatim tersebut. Padahal kedua tepi mulutnya sudah tampak luka sobek. Beberapa giginya pun sudah tanggal. Begitulah kondisi penyandang autis berusia 18 tahun itu jika sedang tantrum (mengamuk). Kini, akibat sikap agresif yang berlangsung hampir setiap hari tersebut, kedua mata Adi juga sudah mulai mendekati kebutaan. Selain agresif dan hiperaktif, Adi juga belum bisa berbicara lancar (nonverbal). Bahkan, belum bisa mandiri dalam banyak hal. Semua ini karena Adi belum tertangani dengan terapi yang memadai. Mahalnya biaya terapi menjadi sebab utama terhambatnya proses penyembuhan Adi.

Pilu Hamzah…

“Biar jauh nggak masalah, yang penting Hamzah bisa diterapi,” ujar Sunarto berharap. Buruh kecil sebuah konveksi ini datang bersama istrinya ke YCKK, pertengahan Nopember lalu, untuk mendaftarkan Hamzah, anak pertamanya yang menderita autis. Sebelumnya Hamzah pernah diterapi oleh seorang terapis di dekat tempat tinggalnya, di daerah Cijantung. “Cuma, karena biayanya naik jadi 75 ribu per jam, terpaksa saya stop,” jelas pria yang mengaku masih menumpang di rumah mertuanya itu. Tingginya biaya terapi, ditambah melambungnya biaya hidup membuat Sunarto berharap pada YCKK yang program terapinya tidak dipungut biaya. Sayangnya, LSM ini baru bisa menerima Hamzah dalam daftar tunggu (waiting list) bersama belasan anak lainnya. Ini karena YCKK baru memiliki dua relawan (volunteer) yang siap bekerja tanpa digaji, serta baru punya dua ruang terapi.

0 komentar:

Post a Comment

 
 
 

About Me

Total Pageviews